Sejarah
18.29.00 
LEGENDA BANYUWANGI
Konon, dahulu kala wilayah ujung timur 
pulau jawa, yang lamnya begitu indah ini dipimpin oleh seorang raja 
bernama Prabu Sulahkromo. Dalam menjalankan pemerintahanya, sang raja 
dibantu seorang patih yang gagah berani, arif dan tampan bernama patih 
Sidopekso. Istri patih Sidopekso yang bernama Sritanjung sangat elok 
parasnya, dan lembut tutur katanya, sehingga membuat raja tergila-gila 
kepadanya. Agar tercapainya hasrat sang raja untuk membujuk dan merayu 
sritanjung, dengan akal liciknya sang raja memerintahkan patih sidopekso
 untuk menjalankan tugas yang tidak mungkin dicapai oleh manusia biasa. 
Dengan tegas dan gagah berani, tanpa curiga, sang patih berangkat untuk 
menjalankan titah raja.
Sepeninggalan patih sidopekso, prabu 
Sulahkromo berusaha merayu, bahkan memfirnah Sidopekso, dengan segala 
tipudayanya. Namun cinta sang raja hanya bertepuk sebelah tangan, karena
 Sritanjung tetap setia sebagai istri yang selalu berdoa untuk suaminya.
Hati sang raja pun membara dibakar api 
cemburu dan murka, setelah cintanya ditolak oleh Sritanjung. Setela 
kembali dari misi tugasnya, patih Sidopekso langsung menghadap raja. 
Akal busuk sang raja muncul, dia memfitnah istri patih Sidopekso dengan 
menceritakan bahwa sepeninggal patih saat menjalankan titah raja, 
Sritanjung mendatangi dan merayu, lalu berselingkuh dengan raja.
Rupanya, patih Sidopekso terpengaruh 
cerita sang raja. Sang patih langsung menemui Sritanjung dengan penuh 
kemarahan dan tuduhan yang tidak beralasa. Pengakuan sritanjung yang 
jujur tak menggoyahkan hati patih Sidopekso yang terlanjur panas 
terbakar rasa amarah. Bahkan sang patih yang mampu membendung emosinya 
mengancam akan membunuh istri setianya itu.
Sritanjung diseret ke tepi sungai yang 
kumuh dan keruh. Namun sebelum patih Sidopekso membunuh Sritanjung, ada 
permintaan terakhir dan istrinya sebagai bukti kejujuran kesucian, dan 
kesetiaannya. Sritanjung rela di bunuh, tetapi dia minta jasadnya 
diceburkan kedalam sungai keruh itu. Apabila darahnya membuat air sungai
 berbau busuk berarti dirinya telah melanggar kesetiaan. Tetapi jika air
 sungai berbau harum berarti dia tidak bersalah.
Setelah Sritanjung menyampaikan pesan 
terakhirnya, Patih Sidopekso yang telah di rasuki amarah tersebut 
langsung menghunuskan pedangnya ketubuh Sritanjung dan menceburkan 
jasadnya kedalam sungai yang kumur dan keruh tersebut. Beberapa saat 
setelah jasad Sritanjung masuk kedalam sungai, tiba-tiba air sungai yang
 kumuh dan keruh tersbut berubah menjadi jernih dan berbau harum/wangi.
Dari cerita legenda Patih Sidopekso yang
 gagah berani dan istrinya Sritanjung itulah akhirnya muncul nama 
“BANYUWANGI” yang artinya: Banyu=Air, dan Wangi=Harum
HARJABA (Hari Jadi Banyuwangi)
Berdasarkan data-data sejarah 
Blambangan, tanggal 18 Desember 1771 merupakan peristiwa paling 
bersejarah yang ditetapkan sebagai hari jadi Banyuwangi. Saat itu 
terjadi peristiwa puncak Perang Puputan Bayu. Sebenarnya ada peristiwa 
lain yang mendahuluinya, yang juga merupakan heroik-patriotik, yaitu: 
Peristiwa penyerangan para pejuang Blambangan dibawah pimpinan Pangeran 
Puger (Putra Wong Agung Wilis) ke Benteng VOC di Banyualit pada tahun 
1768. Namun saya, peristiwa tersebut tidak tercatat secara lengkap 
teradinya.
Berdasarkan data sejarah, nama 
Banyuwangi tidak terlepas dengan kerajaan Blambangan. Sejak zaman 
pangeran Tawang Alun (1655-1691) dan pangeran Danuningrat (1736-1763), 
bahkan sampai ketika Blambangan berada dibawah perlindungan Bali 
(1763-1767), VOC belum pernah tertarik untuk memasuki dan mengelola 
Blambangan. Nah, pada tahun 1743, jawa bagian timur (termasuk 
Blambangan) diserahkan oleh Pakubuwono II kepada VOC. Saat itu, VOC 
sudah merasa Blambangan menjadi miliknya. Namun, untuk sementara masih 
dibiarkan sebagai barang simpanan, dan baru akan dikelola sewaktu-waktu 
ketika sudah diperlukan. Bahkan ketika Danuningrat meminta bantuan VOC 
untuk melepaskan diri dari Bali, VOC masih belum tertarik untuk melihat 
Blambangan, yang pada waktu itu disebut Tirtaganda, Tirtaarum atau 
Tuyoarum.
Kala itu, VOC langsung bergerak untuk 
segera merebut Banyuwangi dan mengamankan seluruh Blambangan. Secara 
umum, dalam peperangan yang terjadi selama 5 tahun, pada tahun 1767-1772
 itu, VOC memang berusaha untuk merebut seluruh Blambangan. Namun secara
 khusus, sebenarnya VOC terdorong untuk segera merebut Banyuwangi, yang 
waktu itu mulai berkembang menjadi pusat perdagangan di Blambangan, yang
 telah dikuasai inggris.
Jadi, sudah jelas bahwa lahirnya sebuah 
tempat, yang kemudian terkenal dengan nama Banyuwangi, telah menjadi 
kasus jual-beli terjadinya peperangan dahsyat, perang Puputan Bayu. 
Kalau saja inggris tidak bercokol di Banyuwangi pada tahun 1766, mungkin
 VOC tidak akan buru-buru melakukan expansi ke Blmbangan pada tahun 
1767. Dan karena peristiwa itu, puncak perang puputan bayu terjadi pada 
tanggal 18 Desember 1771. Dengan demikian terdapat hubungan erat antara 
perang puputan bayu dengan lahirnya sebuah tempat bernama Banyuwangi. 
Dengan kata lain, Perang Puputan Bayu merupakan bagian dari proses 
lahirnya Banyuwangi.
Jadi, penetapan tanggal 18 Desember 1771 sebagai hari jadi Banyuwangi didasarkan kepada fakta-fakta sejarah tersebut.